. Diberdayakan oleh Blogger.

Facebook

Hukum Merayakan Maulid Nabi

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-�Utsaimin rahimahullah menjawab:


Pertama, malam kelahiran Rasul shallallahu �alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi�ul Awwal dan bukan malam 12 Robi�ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada malam 12 Robi�ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis.


Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu �alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta�ala berfirman yang artinya, �Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.� (QS. Al-Hijr: 9)

Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah �azza wa jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta�ala telah menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu �alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah? Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan terhadap hak Allah �azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah �azza wa jalla yang artinya,

????????? ?????????? ?????? ????????? ???????????? ?????????? ?????????

Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.� (QS. Al-Maa�idah: 3)

Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul �alaihish shalatu wa salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta�ala berfirman yang artinya, �Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.� Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul shallallahu �alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul �alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul �alaihis shalaatu was salaam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu �alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu �alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu �alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu �alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu �alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya. Apabila demikian maka merayakan maulid Nabi shallallahu �alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu �alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid�ah dan diharamkan.

Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa di dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak dilegalkan oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka bernyanyi-nyanyi dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat ungkapan yang berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul �alaihish sholaatu was salaam sampai-sampai mereka mengangkat beliau lebih agung daripada Allah �wal �iyaadzu billaah-. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan sebagian orang yang ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca kisah Nabi sudah mencapai kata-kata �telah lahir Al-Mushthafa� maka mereka pun serentak berdiri dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul shallallahu �alaihi wa sallam hadir ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini adalah tindakan yang bodoh. Dan juga bukanlah termasuk tata krama yang baik berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang paling dalam cintanya kepada Rasul shallallahu �alaihi wa sallam serta kaum yang lebih hebat dalam mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah berdiri tatkala menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu sementara beliau dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang hanya sekedar khayalan semacam ini?

Bid�ah ini -yaitu bid�ah Maulid- baru terjadi setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul berbagai kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di dalam acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).

Apa Hukum Merayakan Maulid Nabi?
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Source: muslim.or.id

Tahlilan Adalah Bid'ah Menurut Madzhab Syafi'i



Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, "Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?".

Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah "Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.

Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!

Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid'ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?
 

Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi'i !!!. Ternyata para ulama besar dari madzhab Syafi'iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara tersebut sebagai bid'ah yang mungkar, atau minimal bid'ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi'yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!
 

A. Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan

Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan �sebagaimana acara maulid Nabi dan bid'ah-bid'ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi'in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).

Akan tetapi anehnya sekarang acara tahlilan pada kenyataannya seperti merupakan suatu kewajiban di pandangan sebagian masyarakat. Bahkan merupakan celaan yang besar jika seseorang meninggal lalu tidak ditahlilkan. Sampai-sampai ada yang berkata, "Kamu kok tidak mentahlilkan saudaramu yang meninggal??, seperti nguburi kucing aja !!!".

Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah kehilangan banyak saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat beliau yang meninggal di masa kehidupan beliau. Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu 'anhum) meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah semuanya dikuburkan oleh Nabi seperti menguburkan kucing??.

Istri beliau yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Demikian pula jika kita beranjak kepada zaman al-Khulafaa' ar-Roosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) tidak seorangpun yang melakukan tahlilan terhadap saudara mereka atau sahabat-sahabat mereka yang meninggal dunia.

Nah lantas apakah acara tahlilan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya, bahkan bukan merupakan syari'at tatkala itu, lantas sekarang berubah statusnya menjadi syari'at yang sunnah untuk dilakukan??!!, bahkan wajib??!! Sehingga jika ditinggalkan maka timbulah celaan??!!

Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)


????? ???? ?????? ?????????? ??????? ??? ???????? ????????? ???????

"Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.�(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)

Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama !!!


B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan
 

Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang berkepanjangan�biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan�hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000�

Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

?????????? ????? ???????? ???????? ????????? ???? ????????? ??? ????????????

"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukan mereka." (HR Abu Dawud no 3132

Al-Imam Asy-Syafi'I rahimahullah berkata :

????????? ?????????? ?????????? ?? ??? ??????????? ???? ?????????? ???????? ?????????? ?? ?????? ??????? ???????????? ???????? ???????????? ??? ??? ??????? ???????? ??????? ??? ?? ?????? ?????? ????????? ????????? ??????????? ????????? ?????? ??? ?????? ???????? ??? ???? ??????? ??? ??????? ???? ???? ????????? ????? ???????? ???????? ???? ?? ????????? ?????? ????????????

"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka." (Kitab Al-Umm 1/278)

C. Argumen Madzhab Syafi'i Yang Menunjukkan makruhnya/bid'ahnya acara Tahlilan

Banyak hukum-hukum madzhab Syafi'i yang menunjukkan akan makruhnya/bid'ahnya acara tahlilan. Daintaranya :

PERTAMA : Pendapat madzhab Syafi'i yang mu'tamad (yang menjadi patokan) adalah dimakruhkan berta'ziah ke keluarga mayit setelah tiga hari kematian mayit. Tentunya hal ini jelas bertentangan dengan acara tahlilan yang dilakukan berulang-ulang pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan bahkan ke-1000

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi'i) mengatakan : "Dan makruh ta'ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta'ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma'ruf�." (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)

Setalah itu al-Imam An-Nawawi menyebutkan pendapat lain dalam madzhab syafi'i yaitu pendapat Imam Al-Haromain yang membolehkan ta'ziah setelah lewat tiga hari dengan tujuan mendoakan mayat. Akan tetapi pendapat ini diingkari oleh para fuqohaa madzhab syafi'i.

Al-Imam An-Nawawi berkata :

"Dan Imam al-Haromain menghikayatkan �satu pendapat dalam madzhab syafi'i- bahwasanya tidak ada batasan hari dalam berta'ziah, bahkan boleh berta'ziah setelah tiga hari dan meskipun telah lama waktu, karena tujuannya adalah untuk berdoa, untuk kuat dalam bersabar, dan larangan untuk berkeluh kesah. Dan hal-hal ini bisa terjadi setelah waktu yang lama. Pendapat ini dipilih (dipastikan) oleh Abul 'Abbaas bin Al-Qoosh dalam kitab "At-Talkhiis".


Al-Qoffaal  (dalam syarahnya) dan para ahli fikih madzhab syafi'i yang lainnya mengingkarinya. Dan pendapat madzhab syafi'i adalah adanya ta'ziah akan tetapi tidak ada ta'ziah setelah tiga hari. Dan ini adalah pendapat yang dipastikan oleh mayoritas ulama.

Al-Mutawalli dan yang lainnya berkata, "Kecuali jika salah seorang tidak hadir, dan hadir setelah tiga hari maka ia boleh berta'ziah"

(Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277-278)

Lihatlah dalam perkataan al-Imam An-Nawawi di atas menunjukkan bahwasanya dalih untuk mendoakan sang mayat tidak bisa dijadikan sebagai argument untuk membolehkan acara tahlilan !!!


KEDUA : Madzhab syafi'i memakruhkan sengajanya keluarga mayat berkumpul lama-lama dalam rangka menerima tamu-tamu yang berta'ziyah, akan tetapi hendaknya mereka segera pergi dan mengurusi kebutuhan mereka.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Adapun duduk-duduk untuk ta'ziyah maka Al-Imam Asy-Syafi'i menashkan (menyatakan) dan juga sang penulis al-Muhadzdzab serta seluruh ahli fikih madzhab syafi'i akan makruhnya hal tersebut�

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Yang dimaksud dengan "duduk-duduk untuk ta'ziyah" adalah para keluarga mayat berkumpul di rumah lalu orang-orang yang hendak ta'ziyah pun mendatangi mereka.

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Akan tetapi hendaknya mereka (keluarga mayat) pergi untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka barang siapa yang bertemu mereka memberi ta'ziyah kepada mereka. Dan hukumnya tidak berbeda antara lelaki dan wanita dalam hal dimakruhkannya duduk-duduk untuk ta'ziyah�"

Al-Imam Asy-Syafi'i berkata dalam kitab "Al-Umm" :

"Dan aku benci al-maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (di rumah keluarga mayat �pen) meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayayan�.". ini adalah lafal nash (pernyataan) Al-Imam Asy-syafi'i dalam kitab al-Umm. Dan beliau diikuti oleh para ahli fikih madzhab syafi'i.

Dan penulis (kitab al-Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil untuk pendapat ini dengan dalil yang lain, yaitu bahwasanya model seperti ini adalah muhdats (bid'ah)" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/278-279)

Sangat jelas dari pernyataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ini bahwasanya para ulama madzhab syafi'i memandang makruhnya berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat karena ada 3 alasan :

(1) Hal ini hanya memperbarui kesedihan, karenanya dimakruhkan berkumpul-kumpul meskipun mereka tidak menangis

(2) Hal ini hanya menambah biaya

(3) Hal ini adalah bid'ah (muhdats)


KETIGA : Madzhab syafi'i memandang bahwa perbuatan keluarga mayat yang membuat makanan agar orang-orang berkumpul di rumah keluarga mayat adalah perkara bid'ah

Telah lalu penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah :

????????? ?????????? ?????????? ?? ??? ??????????? ???? ?????????? ???????? ?????????? ?? ?????? ??????? ???????????? ???????? ???????????? ??? ??? ??????? ???????? ??????? ??? ?? ?????? ?????? ????????? ????????? ??????????? ????????? ?????? ??? ?????? ???????? ??? ???? ??????? ??? ??????? ???? ???? ????????? ????? ???????? ???????? ???? ?? ????????? ?????? ????????????

"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)

Akan tetapi jika ternyata para wanita dari keluarga mayat berniahah (meratapi) sang mayat maka para ulama madzhab syafi'i memandang tidak boleh membuat makanan untuk mereka (keluarga mayat).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi'i) rahimahullah berkata, "Jika seandainya para wanita melakukan niahah (meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka dalam bermaksiat.

Penulis kitab as-Syaamil dan yang lainnya berkata : "Adapun keluarga mayat membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini merupakan bid'ah, tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak dianjurkan)".

Ini adalah perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen untuk pendapat ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/290)

D. Fatwa para ulama 4 madzhab di kota Mekah akan bid'ahnya tahlilan

Diantara para ulama madzhab syafi'i lainnya yang menyatakan dengan tegas akan bid'ahnya tahlilan adalah :

Dalam kitab Hasyiah I'aanat at-Thoolibin, Ad-Dimyaathi berkata :

"Aku telah melihat pertanyaan yang ditujukan kepada para mufti kota Mekah tentang makanan yang dibuat oleh keluarga mayat dan jawaban mereka tentang hal ini.

(Pertanyaan) : Apakah pendapat para mufti yang mulia di tanah haram �semoga Allah senantiasa menjadikan mereka bermanfaat bagi manusia sepanjang hari- tentang tradisi khusus orang-orang yang tinggal di suatu negeri, yaitu bahwasanya jika seseorang telah berpindah ke daarul jazaa' (akhirat) dan orang-orang kenalannya serta tetangga-tetangganya menghadiri ta'ziyah (melayat) maka telah berlaku tradisi bahwasanya mereka menunggu (dihidangkannya) makanan. Dan karena rasa malu yang meliputi keluarga mayat maka merekapun bersusah payah untuk menyiapkan berbagai makanan untuk para tamu ta'ziyah tersebut. Mereka menghadirkan makanan tersebut untuk para tamu dengan susah payah. Maka apakah jika kepala pemerintah yang lembut dan kasih sayang kepada rakyat melarang sama sekali tradisi ini agar mereka kembali kepada sunnah yang mulia yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana  beliau berkata, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far", maka sang kepala pemerintahan ini akan mendapatkan pahala karena pelarangan tersebut?. Berikanlah jawaban dengan tulisan dan dalil !!"

Jawaban :

"Segala puji hanya milik Allah, dan semoga shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya setelahnya. Ya Allah aku meminta kepadMu petunjuk kepada kebenaran.

Benar bahwasanya apa yang dilakukan oleh masyarakat berupa berkumpul di keluarga mayat dan pembuatan makanan merupakan bid'ah yang munkar yang pemerintah diberi pahala atas pelarangannya �.

Dan tidaklah diragukan bahwasanya melarang masyarakat dari bid'ah yang mungkar ini, padanya ada bentuk menghidupkan sunnaah dan mematikan bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan. Karena masyarakat benar-benar bersusah payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan tersebut hukumnya haram. Wallahu a'lam.

Ditulis oleh : Yang mengharapkan ampunan dari Robnya : Ahmad Zainy Dahlan, mufti madzhab Syafi'iyah di Mekah"

Adapun jawaban Mufti madzhab Hanafiyah di Mekah sbb :

"Benar, pemerintah (waliyyul 'amr) mendapatkan pahala atas pelarangan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tersebut yang merupakah bid'ah yang buruk menurut mayoritas ulama�.

Penulis Raddul Muhtaar berkata, "Dan dibenci keluarga mayat menjamu dengan makanan karena hal itu merupakan bentuk permulaan dalam kegembiraan, dan hal ini merupakan bid'ah"�

Dan dalam al-Bazzaaz : "Dan dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, hari ketiga, dan setelah seminggu, serta memindahkan makanan ke kuburan pada waktu musim-musim dst"�

Ditulis oleh pelayan syari'at dan minhaaj : Abdurrahman bin Abdillah Sirooj, Mufti madzhab Hanafiyah di Kota Mekah Al-Mukarromah�

Ad-Dimyathi berkata : Dan telah menjawab semisal dua jawaban di atas Mufti madzhab Malikiah dan Mufti madzhab Hanabilah" (Hasyiah I'aanat at-Thoolibin 2/165-166)

Penutup

Pertama : Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab syafi'iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi'iyah membid'ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi'iyah yang manakah yang mereka ikuti ??

(silahkan baca juga : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/tahlilan-dalam-pandangan-nu.html)

Kedua :  Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari'atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari'atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid'ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi'iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas :

� Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu : "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih"

� Berlawanan dengan sunnah yang jelas untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayat dalam rangka meringankan beban mereka

Bid'ah sering terjadi dari sisi kayfiyah (tata cara). Karenanya kita sepakat bahwa adzan merupakan hal yang baik, akan tetapi jika dikumandangkan tatkala sholat istisqoo, sholat gerhana, sholat 'ied maka ini merupakan hal yang bid'ah. Kenapa?, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya.

Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid'ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.

Demikian pula berkumpul-kumpul di rumah keluarga kematian dan bersusah-susah membuat makanan untuk para tamu bertentangan dan bertabrakan dengan dua perkara di atas:

� Sunnahnya membuatkan makanan untuk keluarga mayat

� Dan hadits Jarir bin Abdillah tentang berkumpul-kumpul di keluarga mayat termasuk niyaahah yang dilarang.

Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang disyari'atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja �tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.

Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai bagi sang mayat.

Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur'an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.

Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang sudah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :

� Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur'an

� Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam membaca al-qur'an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat??!!

� Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!


oleh Abu Abdil Muhsin Firanda
Source : firanda.com

Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Mengusap Muka Setelah Berdo'a

Sering kita melihat diantara saudara-saudara kita apabila mereka telah selesai berdo'a, mereka mengusap muka mereka dengan kedua telapak tangan.. Mereka yang mengerjakan demikian, ada yang sudah mengetahui dalilnya akan tetapi mereka tidak mengetahui derajat dalil itu, apakah sah datangnya dari Nabi shallallau 'alaihi wa sallam atau tidak .? Ada juga yang mengerjakan karena turut-turut (taklid) saja. Oleh karena itu jika ada orang bertanya kepada saya : "Adakah dalilnya tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a dan bagaimana derajatnya, sah atau tidak datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ..? Maka saya jawab ; "Tentang dalilnya ada beberapa riwayat yang sampai kepada kita, akan tetapi tidak satupun yang sah (shahih atau hasan) datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam". Untuk itu ikutilah pembahasan saya di bawah ini, mudah-mudahan banyak membawa manfa'at bagi saudara-saudaraku


Hadits Pertama

???? ????? ?????? ?? ????? : ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? : ????? ???????? ?????? ??????? ????????? ?????????? ??????????? ???????????????? ??????? ??????? ???????? ??????? ????????

"Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata ; "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : Apabila engkau meminta (berdo'a) kepada Allah, maka hendaklah engkau berdo'a dengan kedua telapak tanganmu, dan janganlah engkau berdo'a dengan kedua punggung (telapak tangan). Apabila engkau telah selesai berdo'a, maka usaplah mukamu dengan kedua telapak tanganmu". [Riwayat Ibnu Majah No. Hadits 181 dab 3866]

Hadits ini derajatnya sangatlah lemah/dla�if. Karena di sanadnya ada seorang (rawi) yang bernama SHALIH BIN HASSAN AN-NADLARY. Tentang dia ini telah sepakat ahli hadits melemahkannya sebagaimana tersebut di bawah ini :

1. Kata Imam Bukhari, �Munkarul hadits (orang yang diingkari hadits/riwayatnya)�.
2. Kata Imam Abu Hatim, �Munkarul hadits, dla'if.�
3. Kata Imam Ahmad bin Hambal, �Tidak ada apa-apanya (maksudnya : lemah)�.
4. Kata Imam Nasa'I, �Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)�
5. Kata Imam Ibnu Ma'in, Dia itu dla'if.
6. Imam Abu Dawud telah pula melemahkannya.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid 2 halaman 291, 292]

Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas, akan tetapi di sanadnya ada seorang rawi yang tidak disebut namanya (dalam istilah ilmu hadits disebut rawi mubham). sedang Imam Abu Dawud sendiri telah berkata : "Hadits inipun telah diriwayatkan selain dari jalan ini dari Muhammad bin Ka'ab al-Quradzy (akan tetapi) semuanya lemah. Dan ini jalan yang semisalnya, dan dia ini (hadits Ibnu Abbas) juga lemah".
[Baca Sunan Abi Dawud No. hadits 1485]

Hadits Kedua
Telah diriwayatkan oleh Saa-ib bin Yazid dari bapaknya (Yazid) :

????? ????????? ?????? ??????? ???????? ????????? ????? ????? ????? ???????? ???????? ?????? ???????? ??????????

"Artinya : Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila beliau berdo'a mengangkat kedua tangannya, (setelah selesai) beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya". [Riwayat : Imam Abu Dawud No. hadits 1492]

Sanad hadits inipun sangat lemah, karena di sanadnya ada rawi-rawi :

1. IBNU LAHI'AH, Dia ini seorang rawi yang lemah[1]
2. HAFSH BIN HASYIM BIN 'UTBAH BIN ABI WAQQASH, Dia ini rawi yang tidak diketahui/dikenal (majhul). [Baca : Mizanul 'Itidal jilid I halaman. 569].

Hadits Ketiga
Telah diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata :

????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ????? ?????? ???????? ??? ?????????? ???? ???????????? ?????? ??????? ??????? ????????

"Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo'a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya". [Riwayat : Imam Tirmidzi]

Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.

1. Dia ini telah dilemahkan oleh Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.
2. Imam Al-Hakim dan Nasa'i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja'far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid 3 halaman. 18-19]

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Adapun tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo'a, maka sesungguhnya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak (jumlahnya). Sedangkan tentang beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya (sesudah berdo'a), maka tidak ada padanya (hadits yang shahih lagi banyak), kecuali satu-dua hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah (alasan tentang bolehnya mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo�anya".
[Baca : Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 22 halaman 519].

Saya berkata : Perkataan Ibnu Taimiyah tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih lagi banyak, sangat benar dan tepat sekali. Bahkan hadits-haditsnya dapat mencapai derajat mutawatir karena telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Di bawah ini saya sebutkan sahabat yang meriwayatkannya dan Imam yang mengeluarkan haditsnya :

1. Oleh Abu Humaid (Riwayat Bukhari dan Muslim).
2. Oleh Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari dan Muslim).
3. Oleh Anas bin Malik (Riwayat Bukhari) tentang Nabi Shallallahu �alaihi wa sallam berdo'a di waktu perang Khaibar dengan mengangkat kedua tangannya.
4. Oleh Abu Musa Al-Asy'ariy (Riwayat Bukhari dan lain-lain).
5. Oleh Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).
6. Oleh Aisyah (Riwayat Muslim).
7. Oleh Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).
8. Oleh Sa'ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).

Dan lain-lain lagi shahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya di berbagai tempat. Semua riwayat di atas (yaitu : tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a mengangkat kedua tangannya) adalah merupakan fi�il (perbuatan) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun yang merupakan qaul (perkataan/sabda) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada diriwayatkan oleh Malik bin Yasar (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

????? ?????????? ????? ????????????? ?????????? ??????????? ????? ???????????? ???????? ?????

"Artinya : Apabila kamu meminta (berdo'a) kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan telapak tangan kamu, dan janganlah kamu meminta kepada-Nya dengan punggung (tangan)". [Shahih Riwayat : Abu Dawud No. 1486]

Kata Ibnu Abbas (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) :

?????????????? ???? ???????? ???? ???? ???? ?????????????

"Artinya : Permintaan (do'a) itu, yaitu : Engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu". [Riwayat Abu Dawud No. 1489]

Adapun tentang tambahan "mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a" telah kita ketahui, semua riwayatnya sangat lemah dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi yang sunahnya itu hanya mengangkat kedua telapak tangan waktu berdoa.

Adalagi diriwayatkan tentang mengangkat kedua tangan waktu berdo'a.
"Artinya :Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah itu baik, dan Ia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah perintahkan mu'minim sebagaimana Ia telah perintahkan para Rasul, Ia telah berfirman : "Wahai para Rasul !.. Makanlah dari yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih, sesungguhnya Aku dengan apa-apa yang kamu kerjakan maha mengetahui ". (Surat Al-Mu'minun : 51). Dan Ia telah berfirman (pula) : "Wahai orang-orang yang beriman !. Makanlah dari yang baik-baik apa-apa yang Kami telah rizkikan kepada kamu". (Surat Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang mengadakan perjalanan jauh dengan rambut kusut masai dan berdebu. (orang tersebut) mengangkat kedua tangannya ke langit (berdo'a) : Ya Rabbi ! Ya Rabbi ! (Kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya) : "Sedangkan makanannya haram dan minumannya haram dan pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana dapat dikabulkan (do'a) nya itu".[Shahih Riwayat Muslim 3/85]

Di hadits ini ada dalil tentang bolehnya mengangkat kedua tangan waktu berdo'a (hukumnya sunat). Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menceritakan tentang seseorang yang berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Orang tersebut tidak dikabulkan do'anya karena : Makanannya, minumannya, pakaiannya, dan diberi makan dari barang yang haram atau hasil yang haram[2]

KESIMPULAN
1. Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo'a. Semua hadits-haditsnya sangat dla'if dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya.
2. Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mengamalkannya berarti BID'AH.
3. Berdo'a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya sunat dengan mengambil fi'il dan qaul Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah sah.
4. Ada lagi kebiasaan bid'ah yang dikerjakan oleh kebanyakan saudara-saudara kita yaitu : Mengusap muka dengan kedua telapak tangan atau satu telapak tangan sehabis salam dari shalat.[3]



Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


[Disalin dari buku Al-Masas-il (Masalah-masalah agama) Jilid 1, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qalam, Komp Depkes Jl. Rawa Bambu Raya No. A2 Pasar Minggu, Jakarta. Cetakan III Th 1423H/2002M]
_______
Footnote
[1]. Apabila yang meriwayatkan dari Abdullah bin Lahi�ah bukan Abdullah bin Mubarak atau Abdullah bin Wahab atau Abdullah bin Yazid. Kalau salah satu dari tiga orang di atas meriwayatkan hadits dari Ibnu Lahi�ah, maka haditsnya Ibnu Lahi�ah shahih atau sekurang-kurangnya hasan. Sedangkan riwayat di atas tidak diriwayatkan oleh salah seorang yang saya terangkan di atas.
[2]. Diantara faedah dari hadits yang mulia ini ialah : (1). Sunnat berdo�a dengan mengangkat kedua tangan. (2). Bertawwassul di dalam berdo�a dengan nama dan sifat Allah seperti : Ya Rabbi, Ya Rabbi. (3). Perintah makan dan minum dari zat yang halal dan dari hasil yang halal. (4). Larangan makan dan minum dari zat yang haram seperti babi dan khamr dan dari hasil yang haram. (5). Salah satu syarat diterimanya do�a ialah dengan makan dan minum yang halal. (6). Salah satu dari sekian sebab tidak diterimanya do�a seseorang karena makanan dan minumannya dari yang haram atau diberi makan dari yang haram.
[3]. Ditulis tanggal 5-10-1985


KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG MENGUSAP MUKA DENGAN KEDUA TANGAN SESUDAH SELESAI BERDO'A
SOURCE : http://almanhaj.or.id
Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Mengusap Muka Wajah Setelah Berdo'a Shalat

Tafsir Doa Sapu Jagad

Doa sapu jagad sangat maruf sekali di tengah-tengah kita. Kenapa sampai disebut sapu jagad? Karena sebenarnya doa ini benar-benar ampuh di dalamnya berisi pemintaan seluruh kebaikan di dunia dan akhirat.
Doa sapu jagad yang kami maksud adalah,

???????? ??????? ??? ?????????? ???????? ????? ??????????? ???????? ??????? ??????? ????????

�Robbanaa aatina fid dunyaa hasanah, wa fil aakhiroti hasanah, wa qinaa �adzaban naar.� (Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa neraka)
Doa sapu jagad tersebut diucapkan ketika telah selesai menunaikan manasik haji, terutama banyak dibaca di hari-hari tasyrik di bulan Dzulhijjah sebagaimana anjuran sebagai salaf. Ayat yang menyebutkan hal ini,


??????? ?????????? ????????????? ??????????? ??????? ???????????? ??????????? ???? ??????? ??????? ?????? ???????? ???? ??????? ???????? ??????? ??? ?????????? ????? ???? ??? ??????????? ???? ??????? (200) ?????????? ???? ??????? ???????? ??????? ??? ?????????? ???????? ????? ??????????? ???????? ??????? ??????? ???????? (201)

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: �Ya Rabb kami, berilah kami (kebaikan) di dunia�, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: �Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka� (QS. Al Baqarah: 200-201).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu �anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam bersabda,

?????????? ?????? ?? ?????????? ???????? ? ????? ????????? ???????? ? ??????? ??????? ????????

Allahumma aatina fid dunyaa hasanah, wa fil aakhiroti hasanah, wa qinaa �adzaban naar (Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa neraka) (HR. Bukhari no. 4522 dan Muslim no. 2690)
Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya disebutkan,

??????? ?????? ????? ??????? ???? ???????? ?????????? ????? ????? ??????? ??????? ???? ???????? ????????? ????? ????? ?????

�Jika Anas radhiyallahu �anhu hendak berdoa, ia pasti berdoa dengan doa tersebut. Dan jika ia hendak berdoa dengan doa yang lain, ia pun menyisipkan doa tersebut di dalamnya.� (HR. Muslim no. 2690).
Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan,

???? ?????? ?????? ????? ?????? ???????? ?????? ?????? ??? ????? ?????????

�Tidaklah seorang nabi maupun orang shalih berdoa melainkan mereka menggunakan doa ini.� (Fathul Bari, 2: 322).
Imam Nawawi rahimahullah berkata mengenai pengertian doa tersebut,

?????????? ??????????? ??? ???????? ?????????? ??? ?????????? ???????? ??????????? ????????????? ? ????? ????????? ????????? ?????????????? ? ??????? : ?????????? ?????? ?????????? ??????????? .

�Pendapat yang lebih tepat mengenai tafsiran �kebaikan di dunia� adalah ibadah dan �afiyah (kesehatan). Sedangkan �kebaikan di akhirat� adalah surga dan ampunan Allah. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa kebaikan di situ mencakup umum untuk seluruh kebaikan di dunia dan akhirat.� (Syarh Shahih Muslim, 17: 13).
Ibnu Katsir menyatakan, �Doa sapu jagad ini berisi permintaan kebaikan di dunia seluruhnya dan dihindarkan dari seluruh kejelekan. Yang dimaksud kebaikan dunia adalah nikmat sehat, rumah yang lapang, istri yang penuh dengan kebaikan, rizki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal shalih, kendaraan yang menyenangkan, pujian yang baik serta kebaikan-kebaikan lainnya dengan berbagai ungkapan dari pakar tafsir. Apa yang disebutkan oleh para ulama pakar tafsir semuanya tidaklah saling bertentangan. Karena seluruh kebaikan dunia tercakup dalam doa tersebut.
Adapun kebaikan di akhirat yang diminta dalam do�a ini tentu saja lebih tinggi dari kebaikan di dunia yaitu dimasukkannya ke dalam surga, dibebaskan dari rasa khawatir (takut), diberi kemudahan dalam hisab (perhitungan amalan) di akhirat, serta berbagai kebaikan akhirat lainnya.
Adapun permintaan diselamatkan dari siksa neraka mengandung permintaan agar kita dibebaskan dari berbagai sebab yang menjerumuskan ke dalam neraka yaitu dengan dijauhkan dari berbagai perbuatan yang haram dan dosa, dan diberi petunjuk untuk meninggalkan hal-hal syubhat (yang masih samar/abu-abu) dan hal-hal yang haram.� (Tafsir Al Qur�an Al �Azhim, 2: 122).
Doa yang sering kita ucapkan ini ternyata punya kandungan makna yang mendalam. Semoga bisa diamalkan dan dipahami maknanya sehingga kita pun bisa bersungguh-sungguh dalam berdoa.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Oleh Al Faqir Ilallah: M. Abduh Tuasikal, MSc
source: rumaysho.com

Meniup-Niup Minuman yang Panas

Salah satu adab makan adalah dilarang bernafas di dalam wadah dan juga dilarang meniup-niup saat minum. Adab ini kadang tidak diperhatikan oleh kita karena ingin buru-buru segera menikmati minuman yang sedang panas. Padahal menunggu sebentar atau tanpa meniup-niup, itu lebih selamat bahkan lebih sehat. Karena perlu diketahui bahwa saat meniup-niup seperti itu, sejatinya yang keluar adalah udara yang tidak bersih. Dengan alasan inilah Nabi shallallahu �alaihi wa sallam melarangnya.
Dari Abu Sa�id Al Khudri, ia berkata,


????? ?????????? -??? ???? ???? ????- ????? ???? ????????? ??? ?????????. ??????? ?????? ?????????? ???????? ??? ????????? ????? � ??????????? �. ????? ???????? ??? ??????? ???? ?????? ??????? ????? � ???????? ????????? ????? ???? ????? �

Nabi shallallahu �alaihi wa sallam melarang meniup-niup saat minum. Seseorang berkata, �Bagaimana jika ada kotoran yang aku lihat di dalam wadah air itu?� Beliau bersabda, �Tumpahkan saja.� Ia berkata, �Aku tidak dapat minum dengan satu kali tarikan nafas.� Beliau bersabda, �Kalau begitu, jauhkanlah wadah air (tempat mimum) itu dari mulutmu.� (HR. Tirmidzi no. 1887 dan Ahmad 3: 26. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari Ibnu �Abbas radhiyallahu �anhuma, ia berkata,

????? ??????? ??????? -??? ???? ???? ????- ???? ??????????? ??? ????????? ???? ???????? ?????

Nabi shallallahu �alaihi wa sallam melarang dari bernafas di dalam wadah air (bejana) atau meniupnya.� (HR. Tirmidzi no. 1888, Abu Daud no. 3728, dan Ibnu Majah no. 3429. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Imam Nawawi rahimahullah membawakan dua hadits di atas pada kitab adab makan pada Bab �Makruhnya meniup-niup saat minum.�
Di atas disebutkan mengenai bernafas di dalam wadah, itu pun terlarang. Artinya saat minum dilarang mengambil nafas dalam wadah. Yang dibolehkan adalah bernafas di luar wadah. Sedangkan meniup-niup saat minum -sebagaimana kata Ibnu Hajar- itu lebih parah dari sekedar bernafas di dalam wadah. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata,

?????????? ??? ?????? ??????????? ??????? ??????? ???? ???????????

�Meniup-niup minuman dalam kondisi ini lebih parah dari sekedar bernafas di dalam wadah.�
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al �Utsaimin mengatakan bahwa ketika seseorang meniup-niup, maka yang keluar adalah udara yang kotor. Oleh karenanya, Nabi shallallahu �alaihi wa sallam melarang melakukan seperti itu.
Kemudian Nabi shallallahu �alaihi wa sallam juga mengatakan bahwa jika ada yang tidak dapat minum dengan satu tarikan nafas, maka ia bisa minum lalu bernafas setelah itu di luar wadah, lalu minum kembali. Kata Syaikh Ibnu �Utsaimin, sebagian ulama menyatakan ketika butuh tidak mengapa meniup minuman yang sedang panas biar cepat dingin. Mereka memberikan keringanan dalam hal ini. Akan tetap kata Syaikh Ibnu �Utsaimin, tetap berpendapat bahwa minuman panas tidak ditiup seperti itu. Sebenarnya bisa melakukan solusi untuk mendinginkan minuman, yaitu dengan menuangkan minuman yang panas ke wadah lainnya, lalu membalikkannya kembali. Ini di antara cara yang tidak dilarang dalam mendinginkan minuman. Demikian maksud penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al �Utsaimin dalam Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 245.
Semoga kita bisa mempraktekkan adab sederhana ini saat makan. Moga makan kita jadi penuh berkah.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal 


Meniup-Niup Minuman yang Panas
source : rumaysho.com

Hukum Melagukan Al-Qur'an

Bolehkah melagukan bacaan Al Quran? Bagaimana keutamaannya?
Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin membawakan judul bab �Sunnahnya memperindah suara ketika membaca Al Qur�an dan meminta orang lain membacanya karena suaranya yang indah dan mendengarkannya.�

Beberapa dalil yang disebutkan oleh beliau berikut ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu �anhu, berkata, �Aku mendengar Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam bersabda,

??? ?????? ??????? ???????? ??? ?????? ??????????? ???? ?????????? ????????????


Allah tidak pernah mendengarkan sesuatu seperti mendengarkan Nabi yang indah suaranya melantunkan Al Qur�an dan mengeraskannya.� (HR. Bukhari no. 5024 dan Muslim no. 792).
Dari Abu Musa Al Asy�ari radhiyallahu �anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

??? ????? ?????? ?????? ???????? ?????????? ???? ?????????? ??? ???????

Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah diberi salah satu seruling keluarga Daud.� (HR. Bukhari no. 5048 dan Muslim no. 793).

Sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan, �Sesungguhnya Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam mengatakan kepada Abu Musa,

???? ??????????? ??????? ?????????? ????????????? ???????????? ?????? ???????? ?????????? ???? ?????????? ??? ???????

Seandainya engkau melihatku ketika aku mendengarkan bacaan Al Qur�anmu tadi malam. Sungguh engkau telah diberi salah satu seruling keluarga Daud� (HR. Muslim no. 793).

Dari Al Bara� bin �Aazib, ia berkata,

???????? ?????????? � ??? ???? ???? ???? � ???????? ( ?????????? ?????????????? ) ??? ?????????? ? ????? ???????? ??????? ???????? ??????? ?????? ???? ?????????

Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam membaca dalam surat Isya surat Ath Thiin (wath thiini waz zaituun), maka aku belum pernah mendengar suara yang paling indah daripada beliau atau yang paling bagus bacaannya dibanding beliau.� (HR. Bukhari no. 7546 dan Muslim no. 464)

Beberapa faedah yang diambil dari beberapa hadits di atas:
1- Dibolehkan memperindah suara bacaan Al Qur�an dan perbuatan seperti itu tidaklah makruh. Bahkan memperindah suara bacaan Al Qur�an itu disunnahkan.
2- Memperbagus bacaan Al Quran memiliki pengaruh, yaitu hati semakin lembut, air mata mudah untuk menetes, anggota badan menjadi khusyu�, hati menyatu untuk menyimak, beda bila yang dibacakan yang lain.
Itulah keadaan hati sangat suka dengan suara-suara yang indah. Hati pun jadi lari ketika mendengar suara yang tidak mengenakkan.
3- Diharamkan Al Quran itu dilagukan sehingga keluar dari kaedah dan aturan tajwid atau huruf yang dibaca tidak seperti yang diperintahkan. Pembacaan Al Quran pun tidak boleh serupa dengan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan, bentuk seperti itu diharamkan.
4- Termasuk bid�ah kala membaca Al Quran adalah membacanya dengan nada musik.
5- Disunnahkan mendengarkan bacaan Al Quran yang sedang dibaca dan diam kala itu.
6- Disunnahkan membaca pada shalat �Isya� dengan surat qishorul mufashol seperti surat At Tiin.
Apa yang Dimaksud �Yataghonna bil Quran�?
Kata Imam Nawawi bahwa Imam Syafi�i dan ulama Syafi�iyah juga kebanyakan ulama memaknakan dengan,

???????? ?????? ????

�Memperindah suara ketika membaca Al Quran.�

Namun bisa pula maknanya �yataghonna bil quran� adalah mencukupkan diri dengan Al Quran, makna lain pula adalah menjaherkan Al Qur�an. Demikian keterangan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 6: 71.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Bahjatun Naazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Salim bin �Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 472.
Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhis Sholihin, Dr. Musthofa Al Bugho dkk, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H, hal. 209.

Melagukan Al Quran, Bolehkah?
Source : rumaysho.com

Cara Membuat Simbal Pad dari Piring Plastik Untuk Drum Elektrik



GUNAKAN PIRING PLASTIK YANG COCOK DIGUNAKAN SEBAGAI SIMBAL.



GUNAKAN AMPLAS ATAU ALAT APAPUN UNTUK MERATAKAN PIRING.

  


BUATLAH LUBANG UNTUK STAND SIMBAL.


JIKA AKAN MENGGUNAKAN ANTI-SPIN SIMBAL, MAKA BUATLAH LUBANG LAIN UNTUK ANTI-SPIN TERSEBUT.




GUNAKAN PERLAK BERBAHAN KARET SEPERTI ALAS KAKI MOBIL, MOUSEPAD, DSB.


POTONGLAH AGAR SESUAI DENGAN UKURAN PIRING TERSEBUT ATAU DAPAT DISESUAIKAN.



GUNAKAN LEM UNTUK MEREKATKAN PERLAK TERSEBUT PADA PIRING.

 




WARNAI AGAR TERLIHAT LEBIH BAGUS ATAU SESUAI SELERA.




PILIH UKURAN PIEZO YANG COCOK.


SOLDER PIEZO TERSEBUT DAN SAMBUNGKAN DENGAN JACK (FEMALE JACK)



ATAU BISA JUGA LANGSUNG KE MALE JACK.



TEMPELKAN PIEZO TERSEBUT PADA POTONGAN KECIL PERLAK.




KEMUDIAN TEMPELKAN PIEZO DAN JACK TERSEBUT PADA PIRING.





TERIMAKASIH TELAH BERKUNJUNG.






Mengeraskan Suara pada Dzikir Sesudah Shalat

Jika Anda berada di Saudi Arabia, akan terlihat fenomena dzikir yang berbeda setelah shalat lima waktu yang jarang kita lihat di tanah air. Para jamaah sama sekali tidak melakukan dzikir berjama�ah dengan dikomandoi imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air. Mereka berdzikir sendiri-sendiri, namun dengan mengeraskan suara. Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan Saudi Arabia. Namun bagaimana tuntunan Rasul shallallahu �alaihi wa sallam mengenai dzikir sesudah shalat, apakah benar dengan mengeraskan suara?

 Dalil yang Jadi Rujukan

Dari Ibnu Jarir, ia berkata, �Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma�bad �bekas budak Ibnu �Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu �Abbas radhiyallahu �anhuma berkata,

????? ?????? ????????? ??????????? ????? ?????????? ???????? ???? ?????????????? ????? ????? ?????? ?????????? � ??? ???? ???? ???? � . ??????? ????? ???????? ?????? ???????? ????? ??????????? ???????? ????? ??????????

Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu �alaihi wa sallam.� Ibnu �Abbas berkata, �Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.� (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)

Dalam riwayat lainnya disebutkan,

?????? ???????? ?????????? ??????? ??????? ??????? -??? ???? ???? ????- ??????????????

Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam melalui suara takbir.� (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)

Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, �Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat.� Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Hazm. Beliau berkata,

???? ????? ???????? ??? ?? ???? ???

Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.� (Al Muhalla, 4: 260)
Demikian juga pendapat Ath Thobari, beliau berkata,

??? ??????? ?? ??? ?? ??? ????? ??????? ?? ??????? ??? ??????

Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.� (Rujuk Fathul Bari, 2: 325)

Pendapat Jumhur

Mayoritas ulama (baca: jumhur) menyelisihi pendapat di atas. Di antara alasannya disinggung oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Setelah menyebutkan perkataan Ath Thobari, Ibnu Hajar Al Asqolani menyebutkan perkataan Ibnu Battol yang mengatakan, �Hal ini tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf selain apa yang diceritakan dari Ibnu Habib dalam Al Wadhihah, yaitu mereka senang bertakbir saat peperangan setelah shalat Shubuh, �Isya� dengan tiga kali takbir. Beliau berkata bahwa ini adalah perbuatan yang dilakukan di masa silam. Ibnu Battol dalam Al �Utaibah menyebutkan bahwa Imam Malik berkata, �Amalan tersebut muhdats (amalan bid�ah, direka-reka).� (Fathul Bari, 2: 325-326)
Pendapat jumhur inilah yang lebih tepat.

Pijakan Jumhur

Dalam hadits Abu Musa Al Asy�ari radhiyallahu �anhu, ia berkata,

?????? ???? ??????? ??????? � ??? ???? ???? ???? � ? ???????? ????? ??????????? ????? ????? ?????????? ???????????? ??????????? ???????????? ? ??????? ?????????? � ??? ???? ???? ???? � � ??? ???????? ???????? ? ????????? ????? ???????????? ? ??????????? ??? ????????? ??????? ????? ???????? ? ??????? ???????? ? ??????? ??????? ??????? ? ????????? ??????? ?????????? ??????? �

Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu �alaihi wa sallam lantas bersabda, �Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.� (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704). Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu �alaihi wa sallam tidaklah suka dengan suara keras saat dzikir dan do�a.
Ath Thobari rahimahullah berkata,

????? ?????????? ????? ???????? ???????????? ?????????? ? ?????? ????? ??????? ???????? ???? ??????????? ??????????????? ?????????

�Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara pada do�a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi�in.� (Fathul Bari, 6: 135)[1]
Adapun anjuran mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat, tidaklah tepat. Karena yang dilakukan oleh Rasul shallallahu �alaihi wa sallam sendiri tidaklah membiasakan hal itu.  Beliau boleh jadi pernah melakukannya, namun hanya dalam rangka ta�lim atau pengajaran, bukan kebiasaan yang terus menerus. Demikianlah pendapat Imam Syafi�i dan pendapat mayoritas ulama lainnya. Imam Syafi�i dalam Al Umm (1: 151) berkata,

?????? ???? ??? ????? ?????? ????? ??? ???? ??? ???? ???????? ???? ??????? ?? ??? ?????? ??? ???? ???? ??? ???????

�Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu �alaihi wa sallam menjaherkan suaranya sedikit untuk mengajari para sahabat. Karena kebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Dan terkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara yang pernah disebutkan.�
Imam Syafi�i berpendapat bahwa asal dzikir adalah dengan suara lirih (tidak dengan jaher), berdalil dengan ayat,

????? ???????? ??????????? ????? ????????? ?????

Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya� (QS. Al Isro�: 110). Imam Syafi�i rahimahullah berkata tentang ayat tersebut, �Janganlah menjaherkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendehkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya sendiri.� (Al Umm, 1: 150)
Imam Asy Syatibi rahimahullah berkata, �Do�a jama�i atau berjama�ah (dengan dikomandai dan satu suara) yang dilakukan terus menerus tidak pernah dilakukan oleh Rasul shallallahu �alaihi wa sallam. Sebagaimana pula tidak ada perkataan atau persetujuan beliau shallallahu �alaihi wa sallam akan amalan ini. Dalam riwayat Bukhari dari hadits Ummu Salamah disebutkan, �Rasul shallallahu �alaihi wa sallam hanya diam sesaat setelah salam.� Ibnu Syihab berkata, �Beliau diam sampai para wanita keluar. Demikian anggapan kami.� Dalam riwayat Muslim disebutkan dari �Aisyah radhiyallahu �anha, �Beliau tidaklah duduk selain sekadar membaca, �Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaroka ya dzal jalaali wal ikrom.� (Al I�tishom, 1: 351)
Namun perlu diperhatikan bahwa hadits Ibnu �Abbas yang telah kami sebutkan bukanlah dalil dzikir dengan satu suara (dzikir jama�ah). Dalil tersebut tidak menunjukkan bahwa dzikir sesudah shalat harus dikomandoi oleh seorang imam sebagaimana kita saksikan sendiri di beberapa masjid di sekitar kita. Yang tepat adalah dzikir dilakukan secara individu, tanpa dikomandoi dan tidak dengan suara keras.

Faedah dari Syaikhul Islam

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, �Yang disunnahkan dalam setiap do�a adalah dengan melirihkan suara kecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk menjaherkan. Allah Ta�ala berfirman,

??????? ????????? ?????????? ?????????? ??????? ??? ??????? ??????????????

Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.� (QS. Al A�rof: 55)
Allah menceritakan tentang Zakariya,

???? ?????? ??????? ??????? ????????

Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.� (QS. Maryam: 3)
Demikian pula yang diperintahkan dalam dzikir. Allah Ta�ala berfirman,

????????? ??????? ??? ???????? ?????????? ????????? ??????? ????????? ???? ????????? ???????????? ????????????

Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.� (QS. Al A�raf: 205). Dalam shahihain disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat itu. Nabi shallallahu �alaihi wa sallam bersabda,

???????? ???????? ?????????? ????? ???????????? ? ??????????? ??? ????????? ??????? ????? ???????? ?????????? ????????? ???????? ???????? ???? ??????? ??????????? ???????? ???? ?????????? ???? ?????? ???????????

Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo�a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.� Inilah yang disebutkan oleh para ulama ketika dalam hal shalat dan do�a, di mana mereka sepakat akan hal ini. (Majmu� Al Fatawa, 22: 468-469)

Faedah Dzikir dengan Lirih

Berikut di antara faedah dzikir dan do�a lebih baik dengan suara lirih:
Pertama: Menunjukkan keimanan yang baik, karena orang yang berdzikir dengan melirihkan suara berarti mengimani Allah akan selalu mendengar seruan hamba-Nya meskipun lirih.
Kedua: Inilah adab yang mulia di hadapan Al Malik, Sang Raja dari segala raja. Ketika seorang hamba bersimpu di hadapan Sang Raja, tentu saja ia tidak mengeraskan suara.
Ketiga: Lebih menunjukkan ketundukkan dan kekhusyu�an yang merupakan ruh dan inti do�a. Orang yang meminta tentu saja akan merendahkan diri, akan menundukkan hatinya pada yang diminta. Hal ini sulit muncul dari orang yang mengeraskan do�anya.
Keempat: Lebih meraih keikhlasan. [2]

Penutup

Setelah mengetahui hal ini, kita perlu menghargai sebagian orang yang mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat. Mereka jelas memiliki acuan, tetapi kurang tepat karena tidak merujuk lagi pada riwayat lainnya. Yang tidak tepat bahkan dinilai bid�ah adalah berdo�a dan berdzikir berjama�ah dengan satu suara. Ini jelas tidak pernah diajarkan oleh Rasul shallallahu �alaihi wa sallam. Lihat sekali lagi perkataan Asy Syatibi di atas.

???? ????????? ( ????? ???????? ??????????? ????? ????????? ????? ) ?????????? ??? ?????????? .

Dari �Aisyah, mengenai firman Allah, �Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya�. Ayat ini turun berkenaan dengan masalah do�a. (HR. Bukhari no. 6327)
Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Sabic Lab, Riyadh KSA, 25 Dzulhijjah 1432 H
Mengeraskan Suara pada Dzikir Sesudah Shalat
Source : rumaysho.com

Hukum Mengangkat Tangan Ketika Berdo�a

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin �rahimahullah- pernah ditanyakan, �Bagaimanakah kaedah (dhobith) mengangkat tangan ketika berdo�a?�

Beliau �rahimahullah- menjawab dengan rincian yang amat bagus :

Mengangkat tangan ketika berdo�a ada tiga keadaan :

Pertama, ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Kondisi ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat tangan ketika berdo�a. Contohnya adalah ketika berdo�a setelah shalat istisqo� (shalat minta diturunkannya hujan). Jika seseorang meminta hujan pada khutbah jum�at atau khutbah shalat istisqo�, maka dia hendaknya mengangkat tangan. Juga contoh hal ini adalah mengangkat tangan ketika berdo�a di Bukit Shofa dan Marwah, berdo�a di Arofah, berdo�a ketika melempar Jumroh Al Ula pada hari-hari tasyriq dan juga Jumroh Al Wustho.
Oleh karena itu, ketika menunaikan haji ada enam tempat untuk mengangkat tangan : [1] ketika berada di Shofa, [2] ketika berada di Marwah, [3] ketika berada di Arofah, [4] ketika berada di Muzdalifah setelah shalat shubuh, [5] Di Jumroh Al Ula di hari-hari tasyriq, [6] Di Jumroh Al Wustho di hari-hari tasyriq.

Kondisi semacam ini tidak diragukan lagi bagi seseorang untuk mengangkat tangan ketika itu karena adanya petunjuk dari Nabi shallallahu �alaihi wa sallam mengenai hal ini.

Kedua, tidak ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Contohnya adalah do�a di dalam shalat. Nabi shallallahu �alaihi wa sallam biasa membaca do�a istiftah : Allahumma ba�id baini wa baina khothoyaya kama ba�adta bainal masyriqi wal maghribi �; juga membaca do�a di antara dua sujud : Robbighfirli; juga berdo�a ketika tasyahud akhir; namun beliau shallallahu �alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan pada semua kondisi ini. Begitu juga dalam khutbah Jum�at. Beliau shallallahu �alaihi wa sallam berdo�a namun beliau tidak mengangkat kedua tangannya kecuali jika meminta hujan (ketika khutbah tersebut).

Barangsiapa mengangkat tangan dalam kondisi-kondisi ini dan semacamnya, maka dia telah terjatuh dalam perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bid�ah) dan melakukan semacam ini terlarang.

Ketiga, tidak ada dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ataupun tidak. Maka hukum asalnya adalah mengangkat tangan karena ini termasuk adab dalam berdo�a.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu �alaihi wa sallam, �Sesunguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya , lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa..�[1]

Nabi shallallahu �alaihi wa sallam juga pernah menceritakan seseorang yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan penuh debu, lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya mengatakan : �Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!� Padahal makanannya itu haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dari yang haram. Bagaimana mungkin do�anya bisa dikabulkan?[2]

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu �alaihi wa sallam menjadikan mengangkat kedua tangan sebagai sebab terkabulnya do�a.

Inilah pembagian keadaan dalam mengangkat tangan ketika berdo�a. Namun, ketika keadaan kita mengangkat tangan, apakah setelah memanjatkan do�a diperbolehkan mengusap wajah dengan kedua tangan?


Yang lebih tepat adalah tidak mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sehabis berdo�a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho�if)[3] yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). Apabila kita melihat seseorang membasuh wajahnya dengan kedua tangannya setelah selesai berdo�a, maka hendaknya kita jelaskan padanya bahwa yang termasuk petunjuk Nabi shallallahu �alaihi wa sallam adalah tidak mengusap wajah setelah selesai berdo�a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho�if).

[Liqo�at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al �Utsaimin, kaset no. 51]

Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Lafazh hadits yang dimaksudkan adalah :

????? ????????? ????????? ?????????? ??????? ??????? ??????????? ???? ???????? ????? ?????? ???????? ???????? ???? ???????????? ???????

�Sesunguhnya Rabb kalian tabaroka wa ta�ala Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya , lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.� (HR. Abu Daud no. 1488 dan At Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho�if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih)

[2] HR. Muslim no. 1015

[3] Hadits yang dimaksudkan adalah dari Umar bin Khothob radhiyallahu �anhu, beliau mengatakan,

????? ??????? ??????? -??? ???? ???? ????- ????? ?????? ???????? ??? ?????????? ???? ???????????? ?????? ???????? ??????? ????????.

�Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam apabila mengangkat tangan ketika berdo�a, beliau tidak menurunkannya hingga beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.�

Mengenai hadits ini, seorang pakar hadits terkemuka yaitu Abu Zur�ah mengatakan, �Hadits ini adalah hadits mungkar. Saya takut hadits ini tidak ada asalnya.� (Lihat �Ilalul Hadits, hal. 156, Asy Syamilah)

Syaikh Al Albani dalam Irwa�ul Gholil no. 433 mengatakan bahwa hadits ini dho�if (lemah).

Hukum Mengangkat Tangan Ketika Berdo�a
Source : rumaysho.com